Senandung Risalah Tanjung Indah


dari anyam orangtua, duri tertanam di sekitarnya

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Itz My Peer; Maryam Musfiroh; Maryam; Musfiroh; Musfi Hidayati; My Peer's Last Gen; Senandung Risalah Tanjung Indah;

Nama adalah harapan dari pemberi nama kepada yang diberi nama. Selain diucapkan dalam serentetan rangkaian ritual ibadah mahdhah, harapan juga bisa disampaikan melalui sebuah nama yang disandangkan. Sebagai sebuah harapan, tentu tak seluruh nama bisa serta merta mewujud begitu saja. Ada pula beberapa yang hanya dirasa sebagai nama belaka.

Salah satu nama yang sejenis demikian ialah “Perumahan Tanjung Indah”. Sekilas, nama ini terkesan indah nan megah. Sayangnya, kesan tersebut tak berlaku buat Maryam Musfiroh.
Ahh…. Menurutku, nama hanya sebuah selaput tipis tanpa tau kejelasan isinya. Tidak mustahil ketika kita menemukan nama suatu desa semisal Suka Miskin tetapi ternyata dihuni oleh makhluk-makhluk bersedan. Sekali lagi nama hanya formalitas, bukan indikator kualitas.” ungkapnya berseloroh.
Sejak pertengahan 1990-an, Maryam bersama keluarganya tercatat sebagai warga Perumahan Tanjung Indah.  Tercatat sebagai warga di lingkungan yang perubahannya tak selalu sanggup mereka jamah.

Keluarganya tinggal di tengah kepungan tetangga dengan rumah yang semakin bagus setelah direnovasi hingga kendaraan yang silih berganti. Namun pertambahan ekonomi tetangga tak bisa mereka nikmati. Maryam berusaha untuk menutup mata juga telinga ketika perasaan tersisihkan dari lingkungan hinggap mengampiri. Dia tetap berupaya menikmati keseharian yang dijalani dengan bersykur terhadap segala anugerah Ilahi-Rabbi yang telah dimiliki.

Bapak Maryam bekerja sebagai guru Madrasah Tsanawiyyah, dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok harian dan kebutuhan anak-anak dalam bersekolah. Dengan keadaan demikian, Maryam terlatih untuk berjuang keras dalam kondisi terbatas.
Uang bukan segala-galanya, akan tetapi segalanya butuh uang,” satu waktu dia berkilah.
Maryam tak salah, patut diakui bahwa persoalan ekonomi memang perkara serius yang bisa mengakibatkan perbedaan kelas.

Keadaan ekonomi memang kadang membuat Maryam merasa tersungkur. Namun dirinya tak pernah kabur dari rasa syukur. Wanita kelahiran 21 November 1993 ini merasa sangat beruntung memiliki bapak yang hebat.
“Bapakku mewarisi sisi seni dalam diriku dengan kapasitas yang luar biasa besar, tapi bapakku pula yang menanam duri di sekitar akarku.” ungkapnya penuh hayat.

Maryam juga merasa beruntung terlahir dari rahim ibu yang penyayang. Seorang ibu yang senantiasa menyuntikkan semangat untuk tak lelah dalam berjuang. Petuah bijak yang tampak klise untuk diungkapkan kerap menjadi penyejuk hati tatkala rasa putus asa menghampiri. Buat Maryam, sang ibu adalah wanita teladan sejak dini sampai saat nanti.

Hubungan Maryam dengan orangtuanya cukup erat. Mereka kerap terlibat obrolan hangat, tak jarang pula dirinya berungkap pendapat. Orangtua bisa dibilang perekam jejak Maryam yang sudah terlewat. Rekaman yang tentunya tak melesat, atau setidaknya tak jauh-jauh amat, walau sekilas tak selaras dengan keseharian yang dilihat. Ketika sebagian besar orang menganggap Maryam sebagai seorang pendiam, orangtua menyebut anak keempatnya ini cerewet. Seorang anak yang ketika diajak ngobrol bisa awet.

Banyak orang memang memandang Maryam sebagai sosok pendiam. Mereka mungkin melihat Maryam sebagai sosok yang lidahnya sedang kram. Kramnya terus-terusan dan tak sembuh-sembuh. Wajar saja, secerewet-cerewetnya Maryam, dia tidak akan menampakkannya di depan. Maryam seperti Valentino Rossi saat balapan, kelakuan aslinya selalu keluar belakangan.

Maryam memang tampak pendiam walakin kalau sudah bicara bisa sangat ceriwis, dan dalam. Ada hal yang saya suka ketika bercakap dengan Maryam. Seringkali tanpa permisi, seperti janjian dulu, ketika percakapan dimulai yang tak jarang sampai menjamah ranah pribadi. Saya suka percakapan seperti ini, percakapan secara spontan. Selalu ada tuntutan untuk bisa segera menanggapi biar tidak garing sekaligus berbagi lisan. Apalagi kalau secara spontan, tak hanya memainkan nalar tapi juga naluri.

Seringkali Maryam menjadi partner ngudoroso saya. Dia menjadi partner yang enak karena tak hanya sebagai pendengar setia segala keluh-kesah-peluh-resah saya tetapi juga menjadi penghantam yang jitu ketika saya merasa benar sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Sering Maryam menjadi orang yang mampu meredam amarah saya meski tak seketika.

Triknya biasanya begini, ketika marah, saya dibiarkan melampiaskan amarah sampai merasa lega. Lalu dia membiarkan saya beberapa saat, kemudian kami bercakap dalam suasana yang tak lagi emosional. Dengan perkataan yang diucapkan lemah lembut tapi menampar keras saya, seringkali dia membuat saya menyadari telah berbuat salah. Mungkin perkataannya keluar dari hati dengan perasaan peduli karena bisa sampai juga pada hati saya tanpa merasa dilukai. Senang bersahabat dengan Maryam, semoga kami bisa sanggam.