The Great One


— more than a teacher and educator

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; The Great One; Zaini Sirojan; Zaini; Sirojan;

Dengan keadaan badan yang masih belum sembuh total dari kecelakaan, 10 Juli 2000 saya memula sekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah. Sejak hari pertama di sana, saya segera berjumpa Pak Zaini Sirojan. Saat itu beliau sudah lama menjadi guru di sekolah tersebut. Satu perjumpaan yang kemudian menjadi perlintasan penting bagi saya. Sampai sekarang interaksi kami terus bertahan bahkan beliau masih rajin membimbing saya. Padahal beliau sudah berpisah dari sekolah dengan saya ketika pensiun pada Agustus 2003 silam.

Sesudah berpisah dengan Pak Zaini, mendadak saya tumbuh menjadi anak nakal. Perlahan malar saya mulai membikin banyak ulah. Bahkan saat masih kelas 3 itu, saya tak hanya sekali dipanggil ke kantor, mendapat peringatan serta bimbingan. Salah satunya ketika melibatkan teman saya. Kami berdua dipanggil seperti biasa saya lakukan sebelumnya. Teman saya yang saya ajak nakal, sempat menangis di kantor, sedangkan saya tidak. Dari sini saya mulai ditandai sebagai siswa nakal.

Pak Zaini memang bukan guru pertama bagi saya, bahkan dengan menyempitkan arti guru sekalipun. Setelah orangtua, guru dalam arti pendidik di lembaga pendidikan, adalah guru TPQ Nurul Ulum. Dalam arti luas, guru adalah orang yang memengaruhi diri saya, bagaimanapaun hubungan pribadi saya dengannya. Tetapi, Pak Zaini adalah The Great One bagi saya.

Kelihaian dalam mendidik kami—saya dan teman-teman—luar biasa. Siapa pun yang pernah merasakan sentuhan Pak Zaini, rasanya sepakat jika beliau adalah guru yang hebat. Guru yang bukan hanya mengajarkan pelajaran sesuai cakupan dan batasan kurikulum, walakin ikut serta memantik keberanian kami dalam berunjuk rasa.

Saya masih ingat ketika mau pulang, beliau selalu mengajak siswa-siswa bernyanyi. Kadang lagu hiburan, tak jarang pula lagu wajib kebangsaan. Sound track favorit yang menjadi ciri khas beliau adalah lagu Kucingku Telu. Liriknya sebagai berikut:
kucingku telu
kabeh lemu-lemu
seng siji klawu
seng loro klabang
meong-meong tak pakani lonthong
atiku seneng, koncoku ndomblong

Lagu yang membuat kami, saya dan teman-teman sekelas, selalu riang ketika pulang sekolah. Kebetulan juga saya suka dengan kucing. Oleh Fachrul Harri Wibowo (Arul M.A.S.A.M), bagian terakhir diaransir menjadi, “Udelku bolong”.

Berani berunjuk rasa menjadi satu perkara yang selayaknya dilatihkan sejak masa balita. Entah berunjuk rasa melalui rupa, gerakan, alunan nada, hingga paduan kata dan aksara. Melatihkan keberanian berunjuk rasa sedari dini bisa menamamkan benih yakin diri agar tak merasa rendah diri ketika terlibat pergaulan dengan lingkungan serta memberi pondasi rendah hati.

Manusia yang biasa berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan itu: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai sikap arogans dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri. Keberanian berunjuk rasa senantiasa terus menerus diupayakan tertanam dalam benak kami—anak asuh Pak Zaini.

Tak peduli saat itu sekolah kami masih dibilang sekolah kampungan oleh beberapa orang. Apalagi bangunan gedung sekolah masih kalah kelas dengan tetangga sebelah, SDN 1 Colo. Tak hanya gedung sekolah, pengelolaan pun memang bisa terbilang kampungan. Selama di kelas satu, setiap hari hanya Pak Zaini yang mengajar kami, artinya semua pelajaran diampu oleh beliau. Barulah saat saya kelas 2, Pak Zaini dibantu oleh Pak Kusmin. Pak Kusmin mengajar mata pelajaran Aqidah & Akhlak setiap Kamis.

Walau selalu bertemu seorang guru setiap hari, kelihaian Pak Zaini dalam mengambil hati membuat kami semua tak pernah bosan terhadap beliau, justru kami merindukan selalu. Saya dan teman-teman merasakan kesedihan yang mendalam ketika beliau pergi dari sekolah kami. Tepatnya saat Agustus 2003, awal-awal saya kelas 3. Setelah kepergian Pak Zaini, beliau sempat datang ke sekolah, bukan untuk mengajar tentunya. Pada saat itu, saya dan teman-teman langsung berhamburan ke luar kelas dan meneriakkan nama-namanya.

Pak Zaini dengan telaten menuntun kami belajar membaca, menulis, dan berhitung mulai dari nol. Sebagian besar dari kami ketika masuk sekolah memang benar-benar buta huruf, juga angka. Pak Zaini tak hanya membuat kami melek huruf dan angka tetapi juga memompa semangat belajar kami. Juga memberikan teladan tata krama dan sikap yang laras.

Ketelatenan membuat beliau sangat keras dalam menghukum kami. Sedikit saja kami berbuat melanggar aturan, akan kena cambuk dari beliau. Cambuk dari bambu yang telah di buat sedemikian rupa ini sangat sakit jika dihentakkan pada kami. Sebagai siswa mbeling pun saya tak pernah absen mendapat ‘sentuhan’ cambuknya.

Disiplin tingkat tinggi beliau tegakkan. Tak hanya memberi contoh datang, pulang, dan istirahat tepat waktu, juga dengan menghukum yang telat. Hukuman bagi yang telat, berdiri di depan kelas. Ketika mendapatkan hukuman, kami selalu merasa malu. Maklum, anak-anak, ketika ada teman yang di hukum, yang lain menertawakan. Merasa malu saat melakukan perbuatan tabu itulah hukuman paling berat sebenarnya.

Pak Zaini memang guru yang tangguh. Beliau masih sanggup jalan kaki ketika pulang dari mengajar, kalau tak dijemput sang anak. Padahal jarak rumah beliau dan sekolah sangat jauh, dua kali lipat dari jarak sekolah dan rumah saya. Pada saat itu juga, beliau sudah sangat tua.

Salah satu kisah tak terlupakan bersama Pak Zaini adalah ketika pulang sekolah pada hari Ahad saat saya kelas 2. Masih bisa diingat karena jam masuknya jam 10 pagi dan pulang jam 1 siang. Gedung sekolah tak memadai sehingga ada empat kelas yang harus berbagi ruangan. Satu ruangan untuk kelas 1 dan kelas 2, masing-masing dibagi dua shift. Satu ruangan lagi untuk kelas 3 dan 4, dengan shift yang sama tetapi disekat triplek (kayu lapis) sebagai pemisah.

Karena sekolah saya liburnya hari Jumu’ah, hari Ahad kami tetap masuk. Pada hari-hari tertentu, jalanan di tempat saya macet. Maklum, sebagai tempat wisata yang memiliki daya tarik religi dan alam, terminal parkir dan jalan menuju ke sana kurang lebar. Otomatis kalau sedang ramai, kendaraan tak tertampung di terminal hingga tumpah ke jalanan. Karena ramai juga, Bapak tak sempat menjemput saya. Selain sedang ngojeg juga sulit untuk bisa lewat. Ibuk yang jualan di rumah pun tak bisa menjemput.

Seperti biasa, akhirnya jalan kaki pulang ke rumah. Keadaan jalan yang tak memungkinkan juga membuat Pak Zaini tak dijemput sang anak. Teman jalan kaki ketika pulang adalah Sisca Rahmawati (Sisca M.A.S.A.M). Sayang Sisca pulang lebih dulu. Akhirnya saya dan Pak Zaini jalan kaki bersama.

Dalam perjalanan pulang itu, sangat saya rasakan kasih sayang beliau terhadap saya. Tentu bukan hanya terhadap diri saya, tetapi terhadap semua siswa beliau. Kebetulan saja hari itu adalah saya yang bersama beliau. Dari sekolah, beliau terus menuntun tangan kanan saya. Posisi jalan kami, Pak Zaini lebih dekat ke arah jalan. Posisi ini untuk melindungi dari himpitan orang yang lewat. Badan mungil saya dituntun erat-erat, erat sekali hingga sulit melepaskan diri.

Beberapa menit dari sekolah, rumah saya semakin dekat. Tanpa bilang ba-bi-bu, saya nyelenong saja melepaskan tangan dari Pak Zaini. Tanpa pamitan, saya langsung menyeberang jalan karena sudah sangat dekat dengan rumah dan tak perlu dituntun lagi. empat berpisah ini di depan rumahnya Bu Tri, guru SDN 2 Colo. Hanya beberapa puluh meter dari rumah dan sudah masuk wilayah satu RT dengan rumah saya. Sudah wajar bukan kalau saya memisahkan diri?

Kaget saya tiba-tiba lepas dari genggaman tangan beliau, Pak Zaini berteriak-teriak memanggil saya. Beliau kebingungan mencari saya, bocah mungil di tengah himpitan banyak orang. Saya yang mendengar teriakan nama saya langsung menjawab seruan beliau. Pak Zaini kemudian berhenti sejenak setelah melihat saya memandang ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangan.

Kemudian beliau yang saat itu terpisah beberapa langkah dengan saya, mempercepat laju kaki mendekati saya dan meraih tangan saya kembali. Pegangan kali ini semakin erat sambil sedikit marah karena tanpa seijin beliau saya memisahkan diri sendiri. Tak ada kata-kata membantah yang keluar dari mulut saya. Tak enak mungkin, takut dimarahi juga barangkali.

Saya merasa beliau marah karena kawatir terhadap keselamatan saya. Tangan saya tetap dipegang erat hingga akhirnya sampai di depan rumah Pak Wiyono, beberapa meter dari tempat berpisah tadi. Dari itu kemudian saya dilepas untuk melanjutkan jalan beberapa meter sebelum sampai rumah. Setelah dilepas pun Pak Zaini masih terus memandangi saya, mungkin untuk memastikan saya selamat. Saya bisa tahu hal ini karena masih mencuri pandang menoleh ke belakang.

Secara pribadi, belum pernah menemui guru lain seperti Pak Zaini. Guru yang benar-benar mendidik siswanya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Hukuman sabetan dari bambu yang Pak Zaini lakukan memang bisa disebut kekerasan tetapi tak bisa disebut kekejaman. Saya tak pernah merasa bermasalah dengan sikap keras, yang tak saya suka adalah kejam. Orang bisa saja keras tanpa kejam sepertihalnya orang bisa kejam tanpa tampak keras. Selagi tidak melukai nurani dan tak membikin muruah menjadi rendah, untuk apa dianggap masalah?

Lagipula, Pak Zaini bisa memukul dengan keras tetapi tak membuat cedera. Juga tak pernah memukul bagian kepala dan bagian vital lainnya. Masih berada pada wilayah yang aman. Kemarahan Pak Zaini tak pernah membuat saya membencinya, karena Pak Zaini hanya marah ketika saya berbuat salah. Toh Pak Zaini tak jarang memberikan pujian pada saya ketika saya selesai mencatat lebih dulu daripada teman-teman serta anugerah daya ingat berlipat yang membikin saya tak mudah lupa.

Output hasil olahan Pak Zaini benar-benar berkualitas. Sekalipun kehidupan siswa-siswa beliau biasa-biasa saja, paling tidak Pak Zaini telah membuat siswa-siswa beliau mengenal dirinya sendiri. Wajar kalau setiap lebaran bersama teman-teman, saya selalu mengunjunginya. Dua tahun terakhir selalu bersama Eva Widiastutiningrum (Eva) dan Ari Jumrotun (Ari) . Sebelumnya selalu bersama anak-anak M.A.S.A.M.

Saat sudah berusia kepala dua, memang ada sumbatan untuk mendapat irisan waktu. Apalagi saat awal lebaran, agenda pribadi sudah begitu padat. Kita harus memaklum segala perubahan yang merupakan keniscayaan. Meskipun sudah tua dan tak mengajar lagi di sekolah, tetapi obrolan di hari lebaran bukan obrolan basi. Obrolan tak hanya seputar kelanjutan kehidupan saya tetapi sambil diselingi pendapat beliau terhadap beberapa hal, khususnya pendidikan.

Pak Zaini termasuk perokok berat, Djarum Super rokoknya. Beliau baru beberapa waktu saja berhenti menikmati rokok. Itupun tanpa ada garansi berhenti seterusnya. Walau begitu, beliau santun saat merokok. Beliau tak merokok di sembarang tempat sehingga tak merisaukan liyan dan lingkungan. Berkesempatan mendapat sentuhan Pak Zaini adalah satu keberuntungan tersendiri bagi saya. Beliau termasuk ke dalam jajaran utama pembawa Kirana bagi saya. Dalam temaram, beliau lebih cepat dan mudah teringat. Ingatan yang segera membikin saya tak kabur dari rasa syukur.