Mbak Nong


— memang manusia biasa, hanya saja istimewa

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Mbak Nong;

Berkali-kali kajian keilmuan dibuldoser dengan pandangan tertentu. Para pelaku buldoser itu berlaku seolah-olah Mûsâ bin Amram menghujat Fir’aun [فرعون atau Pharaoh] era Mûsâ (Ramesses II?). Meskipun mereka belum tentu seperti Mûsâ, dan yang dihujat belum tentu seperti Fir’aun. Tentu dengan menggunakan cara semacam ini sulit untuk menciptakan keharmonisan lingkungan.

Biasanya para pelaku buldoser ini adalah manusia yang memiliki sikap fanatik terhadap pandangan sempit, sehingga manusia yang berbedaapalagi berlawanandengan pandangannya disebut dengan ungkapan tak mengenakkan perasaan. Seringkali manusia seperti itu begitu membenci mereka yang disebut dengan ungkapan perisak ruang rasa. Tak jarang kebencian dilampiaskan dengan tindakan merusak. Rasa sama sebagai manusia telah luntur tergusur oleh lekatnya pandangan yang terlalu diyakini kebenarannya.

Mbak Nong telah banyak mengalami sendiri rasanya mendapat perlakukan oleh para pelaku buldoser itu. Wanita yang mengagumi Fatima Mernissi ini juga terlanjur akrab dengan berbagai fitnah yang dialamatkan pada dirinya selalu. Setahu saya dan menurut pengakuannya, Mbak Nong adalah pemeluk Islam. Namun saya tidak tahu menahu dan tidak perlu mencari tahu seberapa besar kadar ke-Islam-an Mbak Nong.

Dalam kitab mulia al-Quran [القرآن الكريم] dituturkan:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ۞ [القرآن الكريم سورة البقرة : ٢٠٨]
Kata كَافَّةً mungkin memiliki banyak penafsiran. Mbak Nong tentu memiliki penafsiran tersendiri tentang kata tersebut.

Mbak Nong termasuk sosok yang menarik perhatian banyak kalangan, antara lain melalui catatan yang diterbitkan olehnya. Beberapa catatannya memantik semangat catatan lain untuk menanggapi guna memberi dukungan dan tolakan dengan cara yang sama dalam beragam bentuk yang tersedia. Sebagian lainnya menggunakan cara kejam dalam menanggapi, seperti berungkap semaunya dan bersikap tanpa memiliki rasa sama terhadap sesama manusia.

Bila menyempatkan waktu untuk sejenak membaca kemudian menelaahnya, catatan Mbak Nong tak terlampau megah dalam hal pembaruan gagasan. Namun melalui catatan yang ditampilkan, dapat dilihat keterkaitan pengalaman personal dan pergaulan sosial dengan wawasan keilmuan dengan. Catatan Mbak Nong banyak memuat cupilkan kajian lintas ruang dan waktu, menampakkan perjalanan gagasan sejak zaman kekunoan hingga kekinian.

Membaca catatan Mbak Nong seakan berhadapan dengan sebuah peta yang disusun mengagumkan. Walau tak selalu sepakat dengan cuplikan yang dimuat, khazanah keilmuan yang dia lumat ditunjukkan. Melalui lumatannya Mbak Nong berupaya mengaitkan dengan pengalamannya sendiri maupun pergaulan yang dihadapi. Dari sini dia mulai berani berunjuk gagasan untuk ikut serta membangun lingkungan.

Dengan demikian, tampak jelas perjalanan gagasan tidak seperti terpenggal dan sebuah kajian tak lepas dari lingkungan sosial dan pengalaman personal. Pada aspek cara inilah Mbak Nong amat menawan dan sangat istimewa buat saya. Penuturan berisi dan tertata rapi disertai keterkaitan dengan kecenderungan keadaan yang ada menjadi cara kesukaan saya ketika membuat catatan. Itu tak lepas dari pengaruh Mbak Nong.

Mbak Nong tanpa sengaja telah mengajarkan pada saya mengenai ijtihād. Ijtihād buat saya merupakan upaya untuk mempertahankan kaitan antara landasan agama dengan pergaulan sosial dan perjalanan personal. Upaya tersebut membuat ruang ijtihād terbuka menganga untuk semua orang, dipandang high intellectual maupun low intellectual, dianggap sebagai sosok scholar maupun sosok popular.

Mengenai hasil ijtihād, tinggal diserahkan pada lingkungan. Kalau hasil ijtihād tersebut dipandang berguna untuk ruang rasa tanpa merisak ruang rasa manusia lainnya, tak masalah ijtihād tersebut mendapatkan penerimaan. Kalau tak dianggap demikian, cukup diabaikan saja. Sehingga tanpa perlu bertindak kejam, ijtihād yang diabaikan akan mangkrak tak mengalami perkembangan.

Lebih lanjut, cara yang ditunjukkan Mbak Nong dalam menafsirkan al-Quran membuat pembedaan pendekatan aqliyyah dan naqliyyah tampak sirna buat saya. Pendekatan naqliyyah biasa memaknai teks dengan merujuk sumber-sumber tekstual dalam mengambil kesimpulan. Namun dalam praktiknya, proses pengambilan kesimpulan tersebut kemampuan akal juga berpadu persama. Ketika teks al-Quran dibaca, tentu akal ikut serta nego dengannya, membentuk ruang tersendiri ketika akal menyediakan cakupan dan teks Alquran memberikan batasan.

Pengaruh Mbak Nong yang paling megah buat saya ialah dalam memandang sebuah persoalan perlu ditilik dari beberapa sisi, paling tidak dari dua sisi yang saling dipertentangkan. Misalnya dalam persoalan `Ādam ketika memetikkan buah terlarang untuk menuruti kemauan Hawa. Sebagian kalangan girang betul menyebut Hawa adalah biang keladi terusirnya manusia dari Surga dan terdampar di planet Bumi hingga perbuatan tersebut dianggap sebagai kesalahan. Namun tanpa kemauan Hawa itu, tujuan awal penciptaan manusia sebagai khalīfah di Bumi bisa jadi tak akan terlaksana.

Tanpa ada perbuatan tersebut, mungkin Hawa dan `Ādam selamanya menjadi penghuni surga. Barangkali pula ungkapan bahwa “wanita tak pernah salah” ada tepatnya, karena dari peristiwa Hawa bisa dilihat kesalahannya pun memiliki kebenaran. Pula menunjukkan bahwa sejak awal pria memiliki sisi lemah terhadap wanita. Tak dimungkiri wanita sanggup membuat pria merangkak di hadapannya untuk memohon kasih sayang dengan penuh rasa sumringah, selantang apapun pandangan rendah terhadap wanita digaungkan.

Dengan atau tanpa sadar, pada titik ini pria justru berlaku lebih rendah di hapan wanita. Tak salah kalau salah satu bagian tubuh wanita  iberi nama dengan mencuplik asmā’ Allāh al-ḥusnā, ialah Raḥīm [رحيم]. Dengan atau tanpa sadar pula, pada titik ini Mbak Nong dengan gagah meluruhkan pengaruh pada saya. Pengaruh untuk tak lelah menebarkan sifat raḥīm, melawan perbuatan zalim.

Mungkin Mbak Nong tak semenawan Aspasia dalam berjuang bersama Periklēs membangung lingkungan. Barangkali Mbak Nong tak segagah ‘Ā’isha [عائشة‎‎] dalam menggerakkan kerumunan untuk bertarung di medan peperangan. Bolehlah Mbak Nong tak sepenting Ḥafṣah [حفصة] dalam berperan menyusun teks al-Qur’an. Bisa jadi segala usahanya tak berdampak banyak laiknya Émilie du Châtelet dalam mengembangkan gagasan.

Walau demikian, Mbak Nong tetap menempati kapling permanen dalam kalbu. Kita bisa berbeda pandangan, tak dimungkiri kadang berlawanan, namun Mbak Nong tetap wanita yang laras, panutan yang pantas. Buat Mbak Nong, semoga keteladanan darimu sepanjang mengayuh perjalanan membuahkan riḍhā Allah selalu.

Bandung, 23 Maret 2017.
Alobatnic, never ever ending admiring.