Aisha


— rebel heart living for love

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Aisha; rebel heart living for love; ‘Ā’isha; عائشة; rebel heart; living for love; queen; princess; mistress; Islām; الإسلام; Islam; Muḥammad; محمد; Muhammad; Abū Bakr ‘Abdallāh; أبو بكر عبد الله; Abu Bakr; Umm Rumān Zaynab; أمّ رومان زينب; Umm Ruman;

Islām «الإسلام‎‎» (Islam) hadir dalam sejak awal bentangan perjalanan saya dimulai. Sampai sekarang pun, sepanjang mengayuh perjalanan Come Back Home Gotta be You ini, Islam tak pernah cuti di hati. Walau seringkali tak pernah saya tampakkan dengan kentara. Hampir hanya tampak oleh sebagian orang yang peka saja. Dengan demikian, banyak hal yang menyinggung perjalanan saya melalui tata cara Islam.

Sebagian singgungan hanya sejenak saja, sebagian lainnya berderap sanggam. Karenanya sampai saat ini dan semoga saat nanti saya terus berusaha untuk menjaga, mengetahui, memahami, mengerti, mengenali, menyatu dalam ajaran Islam. Hanya saja saya termasuk dari beberapa orang yang tidak kena kalau diwedarkan surga as well as neraka yang mengancam.

Salah satu singgungan sanggam melalui tata cara Islam dalam perjalanan saya ialah ‘Ā’isha «عائشة» (Aisha). Seorang perempuan yang penuh gairah membuncah. Sebagai sosok besar dalam narasi besar, Aisyah adalah perempuan pertama yang saya kagumi. Kadar kekaguman pada Aisha, selain masuk dalam rencana penamaan anak, terlihat dari peranannya yang menjadi sejenis prototype, semacam pondasi.

Banyak sosok perempuan yang dikagumi kemudian tak jauh-jauh dari pengenalan saya terhadap istri Muḥammad «محمد» (Muhammad) ini. Sebut saja Nong Darol Mahmada, Paris Whitney Hilton, hingga Lee Chae-lin [] (Lee Chaelin), semuanya perempuan mbeling—tampak melanggar aturan namun tak bisa disalahkan—dengan leadership ability kelas tinggi. Barangkali karena Aisha pula saya cenderung lebih mudah bergaul dengan perempuan tomboy.

Gambaran perdana saya terkait Aisha ialah dirinya orang Islam pada masa awal yang pemberani. Aisha dilahirkan dan mengalami perjalanan pada masa ketika Alquran diturunkan. Diturunkan pada lingkungan dengan keadaan yang terasa melukai hati. Kala itu, perempuan lebih dilihat manfaatnya sebagai barang ketimbang martabatnya sebagai orang, antara lain diperlakukan sebagai barang warisan.

Kalau ungkapan Aceh menyatakan “hana peng, hana inong” (tak ada uang, tak ada perempuan), saat itu justru peng dianggap sama dengan inong. Dalam keadaan semacam inilah Aisha hadir sebagai pendorong. Pendorong pada perempuan, juga mereka yang martabatnya direndahakan, untuk tak begitu saja menerima keadaan lingkungan. Keadaan lingkungan yang timpang perlu untuk diubah agar terbangun keseimbangan.

Tentunya dengan dorongan yang ditunjukkan demikian, membuat Aisha tak jarang menjadi sasaran untuk disingkirkan. Beragam cara yang memungkinkan terus dilakukan. Namun Aisha tak pernah mati. Dia tetap tegap berderap meski mendapat serangan berulangkali.

Aisha memang dilahirkan dalam keadaan lingkungan yang timpang. Namun dia beruntung dilahirkan oleh Abū Bakr ‘Abdallāh «أبو بكر عبد الله» (Abu Bakr) dan Umm Rumān Zaynab «أمّ رومان زينب» (Umm Ruman), yang membuatnya tak diperlakukan laiknya barang.

Abu Bakar sendiri adalah sahabat erat Muhammad sejak … sejauh sanggup keduanya ingat. Persahabatan mereka tak mati meski kemudian Muhammad tampil sebagai sosok yang dicaci maki. Dalam rangkaian peristiwa Isra’-Mi’roj yang diwedarkan, misalnya, Abu Bakar menampilkan peran penting saat sahabatnya dihujat. Abu Bakar menjadi orang pertama yang membela Muhammad saat sebagian besar meragukan bahkan cenderung memendam perasaan antipati.

Dengan keadaan keluarga demikian, Aisha terbilang beruntung menjalani masa anak-anak—yang singkat. Keluarga Aisha adalah keluarga yang harmonis, romantis, santun, dan memegang teguh tradisi leluhur. Hal ini membuat Aisha memiliki mental kuat. Mental kuat yang dimiliki menjadikan Aisha sebagai sosok pemberani dalam membaur tanpa perlu melacur. Karena tak melacur, Aisha pun—tanpa perlu mengaitkan dirinya dengan Abu Bakar dan Muhammad—menjelma sebagai sosok terhormat. Sebagai perempuan, bukan hanya pada masa kekunoan namun juga kekinian, Aisha tak salah disebut sebagai sosok bahadur.

Sebagai sosok bahadur yang kemudian dipersunting sebagai istri Muhammad, Aisha turut ikutserta berperan. Berperan menjadi partner Muhammad dalam memberikan penghiburan sekaligus peringatan. Peran Aisha tak bisa dipandang sebelah mata lantaran dirinya tampil sebagai juru bicara Muhammad kala sulit menyampaikan pesan-pesan Ilahi-Rabbi. Dari sisi tersebut terlihat bahwa Aisha terampil dalam berkomunikasi. Pesan yang disampaikan dari sumber serta sasaran penyampaikan pesan bisa dimengerti dengan baik. Membuat Aisha memiliki prestasi apik meski kerap dihardik.

Sayang memang dengan keterampilan berkomunikasi, peran Aisha justru tak terlampu penting dalam pengumpulan teks Alquran. Dalam hal ini Aisha tampak masih kalah dibanding Hafṣa «حفصة» (Hafsa). Hafsa memang rajin menulis pesan-pesan Ilahi-Rabbi yang kelak selesai dikumpulkan pada masa ʿUtsmān «عثمان» (Utsman). Namun itu tak serta merta membuat Aisha bisa kalah begitu saja.

Pertama, Aisha dan Hafsa—selain sebagai queen dan princess buat Muhammad—adalah sahabat erat. Keduanya kerap bahu membahu dalam berbagai perilaku yang diperbuat. Mau membantu Muhammad berjuang, berbagi selakangan, atau bahkan ngusilin Ummu Salamah yang lugu, Aisha dan Hafsa selalu kompak. Dengan persahabatan sejenis demikian, wajar dong kalau Aisha berhasrat Hafsa juga bisa tampak.

Kedua, sepanjang perjalanan merentang, Aisha punya seteru abadi bernama ‘Alī «علی» (Ali).. Hal ini membuatnya tak punya banyak waktu selo untuk sekadar menulis pesan-pesan Ilahi-Rabbi. Karena itulah Hafsa diberi kesempatan berperan untuk menuliskan pesan-pesan Ilahi-Rabbi. Sementara Aisha cukup legowo menjadi penyambung lidah Muhammad. Tentu sambil menghadapi Ali dalam beradu kuat.

Dari dua hal tersebut terlihat kalau Aisha juga terampil dalam pengelolaan (management). Keterampilan yang membuatnya enggan memakan semua peran sendirian. Keterampilan Aisha dalam management memuncak tatkala peristiwa terbunuhnya Utsman menyentak hatinya. Dengan semangat meminta Ali—pemimpin politik penerus Utsman—Aisha menantang seteru abadi dalam Pertempuran Unta (The Battle of the Camel) Disebut Perang Unta karena dalam pertemupuran tersebut Aisha menunggangi Unta. Disematkan tajuk pertarungannya karena Aisha memang lebih mempesona.

Semangat Aisha menghadapi Ali dalam The Battle of the Camel terbilang melipat. Satu sisi dirinya memang memendam kekesalan berkelanjutan pada Ali. Satu sisi peristiwa terbunuhnya Utsman memang melukai hati ummat. Sayang memang Aisha beserta pasukannya harus rela kalah dalam pertarungan menghadapi pasukan pimpinan menantu tirinya ini. Tapi tak mengapa, Aisha tetap layak disebut hebat. Kalah dalam pertarungan bukanlah pilihan, melainkan takdir Ilahi-Rabbi.

Wabakdu, dengan segala ungkapan yang dialamatkan padanya maupun menyinggung namanya, Aisha tetaplah Aisha, yang langkahnya sulit dituturkan semadyana. Karena wanita memang sulit dimengerti sepenuhnya, meski tetap bisa dinikmati seutuhnya.

References

Geissinger, A. (2011). ‘A’isha bint abi bakr and her contributions to the formation of the islamic tradition. Religion Compass, 5(1), 37-49. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1749-8171.2010.00260.x

Khan, R. Y. (2014). Did a woman edit the qur’ān? hafṣa and her famed “codex”. Journal of the American Academy of Religion, 82(1), 174-216. DOI: https://doi.org/10.1093/jaarel/lft074

Menteşe, M., & Şahin, M. C. (2016). Hazrat Aisha: In Terms of Religious, Authentic and Didactic Leadership Characteristics. Women Leaders in Chaotic Environments, 49-59. Springer International Publishing. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-44758-2_5

Geissinger, A. (2017). No, a woman did not “edit the qurʾān”: towards a methodologically coherent approach to a tradition portraying a woman and written quranic materials. Journal of the American Academy of Religion, 85(2), 416-445. DOI: https://doi.org/10.1093/jaarel/lfw076

Recommended Reading

Abbott, N. (1942). Aishah The Beloved of Mohammed. Chicago: The University of Chicago.

Armstrong, K. (1991). Muhammad: A Biography of the Prophet. London: Victor Gollancz Ltd.

Armstrong, K. (2000). Islam: A Short History. New York City: Modern Library.